JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan bahwa keributan atau kerusuhan yang terjadi di ruang digital, termasuk media sosial, tidak dapat dikategorikan sebagai delik pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Putusan ini menjadi angin segar bagi kebebasan berekspresi di dunia maya, yang selama ini kerap dibayangi ancaman pidana karena perbedaan pendapat atau perdebatan sengit secara daring.
Dalam sidang pembacaan putusan, MK menilai bahwa ketentuan pasal terkait penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang untuk menjerat individu hanya karena adanya keributan atau ketegangan dalam komunikasi digital.
MK menegaskan, perbedaan pendapat di ruang publik digital merupakan bagian dari dinamika demokrasi dan tidak otomatis menjadi tindak pidana.
Putusan ini sekaligus memperjelas batas antara kritik, perdebatan, dan penghinaan dalam konteks digital, serta menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Hal itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).
“Menyatakan kata ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo, Selasa.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,'” ujar dia melanjutkan.
Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahui memuat pemberitaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Hakim MK Arsul Sani mengatakan, MK menilai bentuk kerusuhan atau keonaran dalam UU ITE tidak ada parameternya yang jelas.
Oleh karena itu, MK kemudian menyebut kata “kerusuhan” dalam norma Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan’ adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,” kata Arsul Sani.
Selain itu, bentuk kerusuhan dan keonaran juga tidak relevan dengan perkembangan zaman di saat teknologi berkembang pesat.
Saat ini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.
“Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, seyogianya disikapi sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik dan bukan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran yang dapat dikenakan proses pidana oleh aparat penegak hukum,” kata Arsul.
Sumber : TribunManado.co.id